M3t D@t@n9............

di Blogger Que nie........

Sabtu, 26 Maret 2011

POST POWER SYNDROM PADA LANSIA


A.    Definisi
Arti dari “syndrome” itu adalah kumpulan gejala. “Power” adalah kekuasaan. Jadi, terjemahan dari post power syndrome kira-kira adalah gejala-gejala pasca kekuasaan. Gejala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil. Gejala-gejala itu biasanya bersifat negatif, itulah yang diartikan post power syndrome.
Post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana ‘penderita’ hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau karirnya, kecerdasannya, kepemimpinannya atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.
Post power sindrome adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul tatkala seseorang turun dari kekuasaan atau jabatan tinggi yang dimilikinya sebelumnya.
Post-power syndrome, adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. post power syndrom merupakan sekumpulan  gejala yang muncul ketika seseorang tidak lagi menduduki posisi sosial yang biasanya dalam institusi tertentu.
B.      Faktor penyebab post power syndrome
1.      Faktor eksternal
Kejadian traumatik merupakan penyebab terjadinya post power syndrome, bila seseorang tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya, maka seseorang akan menderita post power.
Pensiun dini dan PHK adalah salah satu faktor tersebut. Bila orang yang mendapatkan pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa tenaganya sudah tidak dipakai lagi, walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, post-power syndrome akan dengan mudah menyerang. Apalagi bila ternyata usianya sudah termasuk usia kurang produktif dan ditolak ketika melamar ke perusahaan lain, post-power syndrome yang menyerangnya akan semakin parah. Kejadian traumatik juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya post-power syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari, yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post-power syndrome. Dan jika terus berlarut-larut, tidak mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya. Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang berat semakin besar. Beberapa kasus post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introfert (tertutup) terjadi psikosomatik (sakit yang disebabkan beban emosi yang tidak tersalurkan) yang parah.

2.       Faktor Internal
a.       Kehilangan harga diri karena dengan hilangnya jabatan seseorang merasa kehilangan perasaan memiliki atau dimiliki, artinya dengan jabatan seseorang akan menjadi bagian penting dari institusi, sehingga juga merasa dimiliki oleh institusi dengan jabatan pula seseorang merasa lebih yakin diri, karena diakui kemampuanya. Kecuali itu orang tersebut juga merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang ia emban.
b.      Kehilangan latar belakang kelompok eksklusif, misalnya kelompok manager, kelompok kepala seksi, dan lain – lain yang memberikan perasaan kebanggaan tersendiri.
c.       Kehilangan perasaan berarti dalam satu kelompok tertentu. Jabatan memberikan perasaan berarti yang menunjang peningkatan kepercayaan diri seseorang.
d.      Kehilangan orientasi kerja. Dengan jabatan yang jelas, maka seseorang memiliki kerangka pelaksanaan tugas yang jelas dan powerful, yang berpengaruh terhadap kontak sosial pula.
e.        Kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan yang dipegang.
Penyebab faktor internal tersebut tentu saja akan mengakibatkan berkembangnya reaksi frustasi yang akan mengembangkan sekumpulan gejala psikofisiksosial yang antara lain ditandai oleh sensitif secara emosional seperti cepat marah, cepat tersinggung, uring – uringan tanpa sebab yang jelas, gelisah dan diliputi kecemasan berlanjut. Penderita Post Power Syndrome juga bisa mendadak menjadi agresif dengan peningkatan intensitas aktifitas yang tidak terkendali demi tercapainya pengakuan akan eksistensi diri dari lingkungan dimana orang tersebut berada. Kondisi psikis yang sedemikian tegangnya akan berpengaruh terhadap ketegangan serta gangguan fungsi syaraf otonom yang berpengaruh pada gangguan fisiologis berupa gangguan metabolisme tubuh, sehingga penyertaan reaksi somatisasi berupa aneka keluhan fisik pun tidak terhindarkan. Biasanya iklim relasi dalam keluarga pun menjadi terganggu karena kecenderungan orang penderita post power syndrome menjadikan keluarga sebagai ajang pelampiasaan kekuatan – kekuatan terdahulu terhadap anak buah saat memangku jabatan. Penderita power syndrome biasanya akan menjadi otoriter, dominan, dan sulit diajak kompromi dalam relasi dengan anggota keluarga, sehingga sering meluncur bentakan, makian, serta kemarahan tanpa kendali yang ditunjukan kepada anggota keluarga bila merasa tidak dipatuhi.
C.    Tipe kepribadian yang rentan terhadap post power syndrome
1.      Seseorang yang pada dasarnya memiliki kepribadian yang ditandai kekurang tangguhan mental sehingga jabatan tanpa disadarinya menjadi pegangan, penunjang bagi ketidak tangguhan fungsi kepribadian secara menyeluruh.
2.      Seseorang yang pada dasarnya sangat terpaku pada orientasi kerja dan menganggap pekerjaan sebagai satu – satunya kegiatan yang dinikmati dan seolah menjadi “ istri pertama “ nya. Orang seperti ini akan sangat mengabaikan pemanfaatan masa cuti dengan cara kerja, kerja dan kerja terus.
3.      seseorang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.
4.      seseorang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain.
5.      seseorang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.

D.    Gejala post power syndrome
1. Gejala fisik, misalnya menjadi jauh lebih cepat terlihat tua tampaknya dibandingkan waktu ia bekerja. Rambutnya didominasi warna putih (uban), berkeriput, dan menjadipemurung, sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah
2. Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, dan sebagainya.
3. Gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.
E.      Fase penyesuaian diri pada saat pensiun
Penyesuaian diri pada saat pensiun merupakan saat yang sulit, dan terdapat tiga
fase proses pensiun:
1.    Preretirement phase (fase pra pensiun)
Fase ini bisa dibagi pada 2 bagian lagi yaitu r em ote dannear . Pada r em ote
phase, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang jauh.
Biasanya fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali mendapat pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang terebut mulai mendekati masa pensiun. Sedangkan pada near phase, biasanya orang mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa perusahaan yang mulai memberikan program persiapan masa pensiun.

2.    Retirement phase (fase pensiun)
Masa pensiun ini sendiri terbagi dalam 4 fase besar, dan dimulai dengan tahapan pertama yakni honeymoon phase. Periode ini biasanya terjadi tidak lama setelah orang memasuki masa pensiun. Sesuai dengan istilah honeymoon (bulan madu), maka perasaan yang muncul ketika memasuki fase ini adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan dan rutinitas. Biasanya orang mulai mencari kegiatan pengganti lain seperti mengembangkan hobi.
Kegiatan inipun tergantung pada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan situasi keluarga. Lamanya fase ini tergantung pada kemampuan seseorang. Orang yang selama masa kegiatan aktifnya bekerja dan gaya hidupnya tidak bertumpu pada pekerjaan, biasanya akan mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan kegiatan lain yang juga menyenangkan. Setelah fase ini berakhir maka akan masuk pada fase kedua yakni disenchatment phase. Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong. Untuk beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu kehilangan kekuasaan,           
martabat, status, penghasilan, teman kerja, aturan tertentu. Pensiunan yang terpukul pada fase ini akan memasuki reorientation phase, yaitu fase dimana seseorang mulai mengembangkan pandangan yang lebih realistik mengenai alternatif hidup. Mereka mulai mencari aktivitas baru. Setelah mencapai tahapan ini, para pensiunan akan masuk pada stability phase yaitu fase dimana mereka mulai mengembangkan suatu set kriteria mengenai pemilihan aktivitas, dimana mereka merasa dapat hidup tentram dengan pilihannya.
3.    End of retirement (fase pasca masa pensiun)
Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti seseorang, ketidak-mampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang sangat merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.
F.      Cara Penanganan pada penderita post power syndrome
1. Cara penanganan eksternal
a. Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu penderita. Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang dicintainya memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya, atau ketidakmampuaanya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih mampu berfikir secara dingin. Hal itu akan mengembalikan kreatifitas dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Akan sangat berbeda hasilnya jika keluarga malah mengejek dan selalu menyindirnya, menggerutu, bahkan mengolok-oloknya.
b. Disamping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post-power syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima kenyataan dan keberadaannya dengan baik akan lebih mampu melewati fase ini disbanding dengan seseorang yang memiliki konflik emosi.
c. Bila seorang penderita post-power syndrome dapat menemukan aktualisasi diri yang baru, hal itu sangat menolong baginya. Misalnya seorang manajer terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di bisnis baru yang dirintisnya (agrobisnis misalnya), ia akan terhindar dari resiko post-power syndrome.

2. Cara penanganan internal
a. Sejak menerima jabatan, seseorang tetap menjaga jarak emosional yang wajar antara diri dan jabatan tersebut, artinya memang karier setinggi mungkin tetap harus kita jangkau dan menjadi cita – cita demi kepuasan batin, namun bila karier telah dicapai melalui kesempatan menduduki jabatan tertinggi, tempatkanlah jabatan tersebut  dalam posisi wajar.
b. Cadangkanlah sisa energi psikis bagi alternatife fokus lain. Dengan demikian bila setatus formal dalam bentuk jabatan hilang, masih ada focus lain bagi penyaluran energi psikis yang sehat.
c. Tanamkanlah dlam diri bahwa jabatan hanya bersifat sementara. Memang dalam pelaksanaan jabatan diperlukan sikap serius dan sungguh – sungguh, namun tetap sadarilah bahwa sifat sementara dalam menjabat tetap berlaku. Tidak ada jabatan yang dapat diemban seumur hidup. Pasti akan tiba saatnya beristirahat dan menikmati masa istirahat tersebut dengan cara yang sehat baik mental maupun fisik.
G.     Usaha –usaha untuk melindungi diri dari ancaman post power syndrom
1.      Usaha – usaha yang bersifat preventif adalah suatu usaha yang dilakukan dengan mengembangakan sikap dan kebiasaan hidu yang positf baik dalam menjalankan tugas – tugas hidup sehari – hari maupun dalam bergaul dengan orang lain.   Dengan sikap dan kebiasaan hidup positif  yang sama manusia juga dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kebahagiaannya.
2.      Usaha yang bersifat perseveratif atau developmental adalah suatu usaha yang dilakukan dengan cara selalu membuka diri terhadap kesempatan dan ajakan untuk semakin tumbuh dan berkembang. Jika terpaksa terjerumus ke dalam gangguan tertentu , ia harus cukup terbuka untuk meminta dan menerima pertolongan dari orang lain yang mampu menunjukannya jalan untuk keluar dari penderitaannya .
3.       Usaha yang bersifat kuratif adalah suatu usaha dimana kita harus selalu bersikap positif dan gembira menghadapi aneka tantangan hidup besar maupun kecil,berat maupun ringan.

H.    Fungsi keluarga dalam postpower syndrome
Keluarga mempunyai pengaruh yang paling besar ketika terjadinya Post Power Syndrome yang terjadi pada seseorang, berikut ini merupakan alasan mengapa unit keluarga harus menjadi fokus sentral dari perawatan pada seseorang yang menderita Post Power Syndrome..
1.      Dalam unit keluarga, disfungsi apa saja yang mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga, dan dalam hal tertentu, seringkali akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain dan unit ini secara keseluruhan.
2.      Ada semacam hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan anggotanya, bahwa peran dari keluarga sangta penting bagi setiap aspek perawatan kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi- strategi hingga fase rehabilitasi.
3.      Dapat mengangkat derajat kesehatan keluarga secara menyeluruh, yang mana secara tidak langsung mengangkat derajat kesehatan dari setiap anggota keluarga.
4.      Dapat menemukan faktor – faktor resiko.
5.      Seseorang dapat mencapai sesuatu pemahaman yang lebih jelas terhadap individu – individu dan berfungsinya mereka bila individu – individu tersebut dipandang dalam konteks keluarga mereka.
6.      Mengingat keluarga merupakan sistem pendukung yang vital bagi individu-individu, sumber dari kebutuhan-kebutuhan ini perlu dinilai dan disatukan kedalam perencanaan tindakan bagi individu-individu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar